Beranda | Artikel
Hukum Meninggalkan Shalat Shubuh Dari Waktunya
Selasa, 13 April 2004

HUKUM MENANGGUHKAN SHALAT SHUBUH DARI WAKTUNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda yang bersemangat melaksanakan shalat, hanya saja sering larut malam, maka saya mensetting jam (weikker) pada jam tujuh pagi, yakni setelah terbitnya matahari, lalu saya shalat, baru kemudian saya berangkat kuliah. Kadang-kadang pada hari Kamis atau Jum’at, saya bangun lebih telat lagi, yaitu sekitar satu atau dua jammsebelum Zhuhur lalu saya shalat Shubuh saat bangun tidur. Perlu diketahui pula, bahwa keseringan saya shalat di kamar asrama, padahal masjid asrama tidak jauh dari tempat tinggal saya. Pernah ada seseorang yang mengingatkan saya karena hal itu tidak boleh. Saya berharap Syaikh bisa menjelaskan hukum tersebut. Jazakumullah khairan.

Jawaban.
Barangsiapa yang sengaja mensetting jam weikker pada waktu setelah terbit matahari sehingga tidak melaksanakan shalat Shubuh pada waktunya maka dianggap telah sengaja meninggalkannya, maka ia kafir karena perbuatannya itu menurut kesepakatan ahlul ilmi, semoga Allah melepaskan kebiasannya sengaja meninggalkan shalat. Demikian juga orang yang sengaja menangguhkan shalat Shubuh hingga menjelang Zhuhur, kemudian shalat Shubuh pada waktu Zhuhur.

Adapun orang yang ketiduran sehingga terlewatkan waktunya, maka itu tidak mengapa, ia hanya wajib melaksanakannya saat terbangun dan tidak berdosa, demikian juga jika ia ketiduran atau karena lupa. Adapun orang yang sengaja menangguhkannya hingga keluar waktunya, atau dengan sengaja mensetting jam hingga keluar waktunya sehingga mengakibatkan ia tidak bangun pada waktu shalat, maka ia dianggap sengaja meninggalkan, dan berarti ia telah melakukan kemungkaran yang besar menurut semua ulama. Akan tetapi, apakah ia menjadi kafir atau tidak ? Mengenai ini ada perbedaan pendapat di antara ulama jika ia tidak mengingkari kewajibannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa itu tidak menjadikannya kafir dengan kekufuran besar tersebut. Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa ia menjadi kafir karena kekufuran yang besar tersebut, demikian pendapat yang dinukil dari para sahabat Radhiyallahu Ajmain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman 82]

Dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir”. [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/346 dan para penyusun kitab Sunan dengan isnad Shahih; At-Turmudzi 2621, An-Nasa’i 1/232, Ibnu Majah 1079]

Lain dari itu meninggalkan sahalat jama’ah merupakan suatu kemungkaran, ini tidak boleh dilakukan. Yang wajib bagi seorang mukallaf adalah melaksanakan shalat di masjid, berdasarkan riwayat dalam hadits Ibnu Ummi Maktum, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid”. Ia minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diberi keringanan agar bisa shalat di rumahnya, maka beliau mengizinkan, namun ketika orang itu hendak beranjak, beliau bertanya.

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ.

“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ? ia menjawab, ‘Ya’, beliau berkata lagi, ‘Kalau begitu, penuhilah”. [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maksudnya, bahwa diwajibkan atas setiap Mukmin untuk shalat di masjid dan tidak boleh meremehkannya dengan melaksanakan shalat di rumah jika masjidnya dekat.

Dalil lain tentang hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّمِنْ عُذْرٍ

“Barangsiapa yang mendengar adzan lalu ia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena udzur”. [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, kitab Al-Masajid 793, Ad-Daru Quthni 1/420,421 Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246, dari Ibnu Abbas dengan isnad sesuai syarat Muslim]

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang udzur ini, ia menjawab, “Takut atau sakit”

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang pemuda multazim, Alhamdulillah, namun ia sering kelelahan karena pekerjaannya sehingga ia tidak dapat melaksanakan shalat Shubuh pada waktunya karena sangat kelelahan dan kecapaian. Bagaimana hukumnya menurut Syaikh tentang orang yang kondisinya seperti itu, dan apa pula nasehat Syaikh untuknya ? Jazzkumullah khaiaran.

Jawaban.
Yang wajib baginya adalah meninggalkan pekerjaan yang menyebabkan menangguhkan shalat Shubuh, karena sebab musabab itu ada hukumnya, jika ia tahu bahwa apabila ia tidak terlalu keras bekerja tentu ia bisa melaksanakan shalat Shubuh pada waktunya, maka ia wajib untuk tidak memaksakan dirinya bekerja keras agar ia bisa shalat Shubuh pada waktunya bersama kaum muslimin.

[Dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang ditanda tanganinya]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/621-hukum-meninggalkan-shalat-shubuh-dari-waktunya.html